TAHUN
1970-an silam, orang-orang Batak, terutama yang berdomisili di Tanah Batak dan
sekitarnya, pasti mengenal vocal group bernama Trio Golden Heart. Sekalipun ada
beberapa vocal group dan penyanyi Batak yang juga terkenal di masa itu, namun
Trio Golden Heart memiliki tempat tersendiri di hati banyak masyarakat Batak.
Personil
grup penyanyi trio ini adalah: Dakka Hutagalung, Star Pangaribuan, dan Ronald
Tobing. Lagu-lagu mereka sangat digemari, terutama lagu Batak, dan lagu-lagu
rohani Batak yang diambil dari Buku Ende. Di masa keemasannya, Trio Golden
Heart tidak hanya menghasilkan album lagu-lagu Batak, namun juga album pop
Indonesia, irama Melayu, bahkan dangdut. Namun album Batak tetaplah
mendominasi, dan menjadi trademark mereka. Selama kiprahnya, Trio Golden Heart
telah menghasilkan 28 album terdiri dari pop Batak, rohani, Melayu. Bahkan
irama dangdut juga ada.
Seiring
perjalanan waktu, grup band ini pun secara perlahan menghilang dari panggung
musik. Star Pangaribuan meninggal dunia. Ronald Tobing saat ini menderita
stroke. Saat ini hanya Dakka Hutagalung, yang notabene lebih tua dari kedua
rekannya itu, masih tetap segar dan sehat walafiat. Sekalipun tidak lagi tampil
dengan Trio Golden Heart dan melahirkan album-album, namun kiprah Dakka di
blantika musik Batak, bahkan nasional, tetap berkibar. Hingga kini, 400 lebih
lagu telah dihasilkan Dakka Hutagalung.
Ditemui
di Lippo Mall Karawaci, Tangerang, Banten pertengahan Oktober 2013 lalu untuk sebuah
wawancara, Dakka Hutagalung mengatakan kalau proses perjalanannya sebagai
musikus kenamaan adalah karena talenta. “Saya baru sadar sekarang bahwa talenta, kalau
dibina dan dijadikan hobby akan menghasilkan apa yang kita inginkan,” katanya. Dakka
mengakui kalau talenta menyanyi dia jadikan hobby.
Sedari
kecil Dakka suka menyanyi dan bermain gitar. Bahkan aktivitas bermusik itulah
yang lebih banyak dia lakukan ketimbang sekolah. Ketika itu Dakka bersekolah di
SMPN 6 Medan. Dia sendiri lahir di Pahae, Kabupaten Tapanuli Utara, pada 28
Oktober 194.... (tidak mengasih tahu tahun berapa).
Tidak
sia-sia memang Dakka menekuni talentanya itu. Semasih duduk sebagai siswa SMP
itu, dia pernah menjadi juara kedua nyanyi (vokal solo) dalam ajang Pesta
Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) yang diadakan di Medan.
Mestinya,
itu menjadi momentum yang bagus untuk mengembangkan talenta tarik suara itu.
Namun peristiwa G-30-S/PKI membuat semuanya berantakan. Dakka akhirnya merantau
ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah.
Tetapi memang minatnya sudah ke musik. Hanya
saja, persaingan di Ibu Kota sangat berat. Dakka mulai giat dan tekun
menciptakan lagu-lagu, sampai kemudian terbentuklah Trio Golden Heart, pada
1972.
Ciptakan Lebih dari
400 Lagu
“Saya
menciptakan lagu mulai dari tahun 1970-an,” cetus Dakka mengingat awal dari
kiprahnya sebagai komposer lagu. Dia tentu tidak lupa pula bahwa pada masa itu
dia juga menciptakan sebuah lagu bersama ayahandanya, yang mereka beri judul
“Sibaganding”. Sibaganding adalah nama sebuah kampung di dekat Kota Parapat,
tempat keluarga Dakka Hutagalung pernah berdomisili. “Di dia jumpang au”, sebuah lagu cinta berirama sendu, adalah salah
satu karya Dakka yang tercipta di masa itu.
Dakka
memastikan, umumnya lagu-lagu hasil kreasinya itu direkam dan dinyanyikan, baik
oleh Trio Golden Heart sendiri, maupun penyanyi lain. Dan banyak dari karya
ciptanya itu yang populer bahkan secara nasional. “Cuma sekitar 5% dari karya
saya tersebut yang belum direkam. Beberapa lagu yang belum direkam secara komersial
itu berupa lagu-lagu rohani,” tandas
Dakka Hutagalung.
Untuk
lebih jelasnya, Dakka Hutagalung menciptakan lagu Batak, rohani Batak, lagu pop
Indonesia, dan rohani Indonesia. Tentu saja lagu Batak yang paling banyak dia
hasilkan. Namun Dakka menegaskan bahwa semua lagu pop Indonesia yang dia telurkan
itu semua populer. Salah satu contoh lagu pop ciptaan
Dakka yang pernah mengharu-biru perasaan masyarakat pencinta musik se-Tanah Air
pada tahun 80-an, khususnya para remaja yang sedang jatuh cinta, adalah “Sonata
yang Indah”. Lagu “Sonata yang Indah” ini
dipopulerkan oleh Robin Panjaitan, adik kandung Christine Panjaitan, yang kala
itu sudah menjadi artis penyanyi papan atas di Tanah Air.
Lagu-lagu
lain ciptaan Dakka Hutagalung yang diterima secara luas antara lain: “Mamaku Sayang” yang dibawakan oleh Puput Novel. Penyanyi Julius Sitanggang tentu
beruntung punya kesempatan membawakan buah karya Dakka yang diberi judul: “Dia
dan Dia”, “Tabahlah Mama”, dan lain-lain. Lagu-lagu ini sangat populer di
seantero Tanah Air pada masa itu. Novia Kolopaking juga menjadi salah satu
artis yang dipercaya memopulerkan lagu ciptaan Dakka Hutagalung. Sayang sekali,
Dakka tidak bisa mengingat semua judul lagu tersebut. Tapi yang sangat
membanggakan adalah bahwa beberapa dari lagu tersebut seperti Tabahlah Mama,
Dia dan Dia, mencatat predikat best
seller, dan dianugerahi Grammy Award.
Kebanyakan
orang Batak pasti familiar dengan lagu
berjudul: “Di Dia Rongkaphi”, “Ho Do Rajangku”, dan lain-lain. Lagu-lagu inilah
yang antara lain menorehkan kesan khusus bagi Dakka Hutagalung selaku
penciptanya. Soalnya lagu-lagu ini sangat populer di kalangan orang Batak.
Namun
di atas semua itu, lagu berjudul “Sipata”, tentu mendapat tempat yang lebih
khusus lagi dalam relung hati Dakka Hutagalung.
Pasalnya, lagu “Sipata” ini pernah sangat populer di Eropa. Lagu
berlirik Batak ini dibawakan oleh Herman Delago, penyanyi Austria. “Saya sangat
bangga lagu Batak populer di Eropa,” kata Dakka tentang lagu ciptaannya
tersebut. Lagu tersebut dibawakan orang Austria, direkam di Jerman, dan
dipasarkan hanya di luar negeri.
Royalti tidak
beres
Tidak
mengherankan bila hingga saat ini ada lagu-lagu ciptaan Dakka Hutagalung yang didaur
ulang. Namun hal ini lebih banyak menghasilkan duka bagi Dakka selaku pemilik
hak intelektual atas lagu-lagu tersebut. Betapa tidak, royalti yang mestinya
menjadi bagiannya, tidak dia peroleh sebagaimana mestinya. “Bicara soal
royalti, Republik ini tidak beres,” tegas Dakka menahan rasa geram. Menurut
Dakka, tangan pemerintah tidak panjang untuk melindungi dan memperhatikan
kesejahteraan para seniman pencipta lagu.
Oleh
karena itulah, belum lama ini sejumlah pencipta lagu membentuk Komisi Nasional
Pencipta Lagu Indonesia (KNPLI). Di lembaga ini, Dakka menjadi ketua dewan pertimbangan
dan pendiri. Badan ini baru dibentuk. Anggotanya seluruh artis pencipta lagu. Direncanakan
pada 28 Oktober 2013 KNPLI akan
melayangkan somasi terhadap seluruh pengelola televisi, radio, dan badan-badan
bisnis yang kerap menggunakan karya cipta para seniman musik ini supaya “menghargai
hak moral”.
Dakka
melihat, selama ini sudah merupakan kebiasaan pihak televisi dan radio tidak
mencantumkan nama pencipta lagu, tetapi “dipopulerkan oleh”. Menurut Dakka,
tindakan seperti itu melanggar hak intelektual. Padahal terhadap pelanggarnya
diancam hukuman sebesar Rp 5 miliar dan hukuman penjara 7 tahun.
Di
mata Dakka, kualitas lagu Batak akhir-akhir ini jauh beda dibanding dulu.
Sekarang orang mau populernya saja. Tidak pedulu kualitas asal populer. “Kalau
mau populer kan gampang saja. Bikin saja lagu yang norak, syairnya jelek, pasti
top,” terang Dakka seraya mengulangi bahwa dari segi kualitas, lagu-lagu Batak
terdegradasi. Soal penurunan kualitas ini, Dakka menunjukkan beberapa lagu
Batak yang dicampur-campur lirik bahasa Indonesia. Bagi Dakka, hal ini tidak
benar. “Kalau mau lagu Batak, ya harus konsisten dong lirik Batak,” ingat
Dakka.
Trio Golden
Heart
Kembali
ke Trio Golden Heart. Dakka mengakui, kelompok grup vokal Batak yang masyhur di
era 70-an itu memang sangat berperan pada perjalanan hidup nya. “Bahwa grup
trio vokalis itu mendukung popularitas saya, hal itu tidak dapat saya pungkiri.
Tetapi sebagai komposer, saya kan lepas
dari itu. Bayang-bayang itu sudah tidak ada,” ujar Dakka. Dari ketiga personil
Trio Golden Heart, kini hanya Dakka Hutagalung-lah yang masih segar dan eksis
berkarya. Bahkan dalam usianya yang menjelang 70 tahun, Dakka masih terlihat
awet muda, bugar dan energik. Ditanya apa resepnya, “Hati yang selalu damai,”
jawab Dakka.
Dalam
menciptakan lagu, Dakka sangat mandiri. Dia berusaha tidak terpengaruh dengan
yang namanya trend. Dakka tidak
menciptakan lagu saduran atau meniru lagu lain. Bahkan dia tidak pernah mendengar
lagu di rumah. “Di rumah saya pantang
mendengar lagu. Jadi, saya tidak tahu lagu apa pun. Saya tidak tahu lagu The Bee
Gees, The Beatles, dll. Kalaupun dengar
paling saat menonton televisi, tetapi di rumah tidak boleh terdengar musik dari
tape, dll,” tandas Dakka. Kalau anak-anak di rumah mau menikmati musik, harus
menggunakan headphone.
Tentang
sikapnya ini, Dakka mengatakan itu bukan lantaran dirinya ekstrim, tetapi malas
saja mendengar lagu lain. “Maka saya menciptakan lagu bukan untuk trend, tetapi
saya membuat karya saya,” tegasnya. Dia juga tidak menafikan bahwa tentu saja
ada “masukan” ke telinganya yang dia dengar saat berada di luar rumah. “Tetapi saya
tidak pedulilah dengan itu. Saya membuat lagu sesuai karaketr saya, warna saya,
berdasarkan apa yang ada di benak saya saja,” urainya.
Danau Toba
Dakka
Hutagalung ternyata punya perhatian yang sangat besar terhadap Danau Toba. Alasannya,
Danau Toba itu suatu anugerah bagi bangsa Indonesia, khususnya bangso Batak. “Harus ada sesuatu yang dibanggakan dari negeri kita. Dan
yang patut menurut saya adalah Danau Toba,” tandas Dakka. Dia mengaku tidak
bisa melukiskan bagaimana luar biasanya danau tersebut. Bahkan dia mengatakan
lebih mencintai Danau Toba dibanding tempat apa pun di dunia ini. Danau Toba
boleh menjadi icon negeri ini.
Tapi
sayang, keindahan alam yang luar biasa itu tidak dimanfaatkan. Tidak
dimaksimalkan untuk memopulerkan kawasan wisata itu, dan sekaligus bisa
mengangkat harkat dan kesejahteraan rakyat yang bermukim di sana. Menurut
Dakka, yang ada hanya pesta dan pesta, tetapi tidak berhasil mencapai tingkat kunjungan
wisatawan yang baik. Ini karena tidak didukung pemerintah daerah.
Kebanggaan
Dakka adalah bahwa kebanyakan orang Batak masih mencintai lagu Batak, mencintai
seniman Batak. Namun dia sangat
menyayangkan pemimpin yang terkesan kurang menghargai nilai-nilai budaya Batak.
Contohnya, menurut Dakka, Festival Danau Toba belum lama ini adalah penghinaan terhadap
seni budaya Batak. Hal ini terkait dengan diberikannya panggung kepada
seniman-seniman luar Batak dalam Festival Danau Toba tersebut. “Dunia jangan dibatakkan, tetapi Batak yang
harus diduniakan,” tegas Dakka.
Dakka
mengecam seniman dari daerah lain dan negeri lain yang tampil di ajang
tersebut. “Tujuan kita kan mempromosikan
Tanah Batak untuk menjadi tujuan wisata. Jangan terbalik. Kalau mau
melihat drummer Myanmar, pergilah ke Myanmar. Kalau ingin melihat seniman Bali
berkarya, datanglah ke Bali. Ngapain ke Tanah Batak?” tegas Dakka dengan nada
tinggi.
Di
Festival Danau Toba, tunjukkanlah budaya original Batak. Tampilkan
uning-uningan, tortor, tumba, lagu Batak, bagaimana cara mendesain ulos, membuat
garantung, pamerkan, ogung, dan cara memainkannya.
Terlepas dari sikap kerasnya akan perlunya melestarikan budaya Batak, Dakka Hutagalung tetaplah seorang komponis lagu Batak yang layak diberi apresiasi tinggi. Dan itu sudah diwujudkan pada November 2011 lalu di Hotel Sultan Jakarta. Untuk mengapresiasi karya-karya Dakka, sebuah pagelaran digelar: "A Special Music Performance Tribute for Dakka!". Pagelaran musik dan apresiasi 40 Tahun Dakka Hutagalung Berkarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar